Malam hari selalu menjadi waktu yang nyaman untuk menuliskan apa yang kulalui beberapa waktu ini….
Malam Yang Berat
Tepat satu minggu setelah aku berulang tahun, perjalanan ini dimulai. Malam itu, ditengah cutinya Senior Managerku datang ke kantor. Seperti biasa, cuti cuman sekedar catatan administrasi saja, alasan sebenarnya adalah agar dirinya bisa menghindari 30% kegiatan yang dirasanya tidak penting. Hari itu kami membahas Governance Model dari project pentahelix yang sedang kami lakukan.
Beberapa saat setelah workshop itu, salah satu partner yang aku pegang menghubungi Senior Managerku, berkabar, dan berharap untuk bisa segera dieksekusi kerjasamanya. Malam itu langsung saja Senior Managerku memanggilku. Jelas kesalahannya, jika sampai partner langsung menghubungi beliau, maka tentu ada permasalahan. terlalu lambat untuk dipegang oleh timnya.
Malam itu dia mengajakku berbincang. empat mata. Tentang bagaimana penilaianku terhadap kinerjaku, bagaimana penilaiannya.
“Kamu sudah hampir 7 bulan ya bekerja disini Nggih, menurutmu kalau diberikan nilai berapa nilaimu?” Tanyanya.
Aku tentu saja tidak percaya diri. Mengingat konteks pembicaraanya… “BC bang?” jawabku. “Bukan, bagiku nilaimu F, berapa banyak project yang kamu close? yang kamu kawal dari awal sampai akhir?”
Ahh… itu dia…. memang sejak dia mengambil cuti kecepatan kerjaku melambat. Dan ini yang menjadi kebiasaan, aku akan selalu menuntaskan apa yang aku mulai,,,, hanya saja waktunya yang sedikit lambat. (sangat mungkin haha)
Kuberanikan diriku untuk bertanya “Bang, gimana ya caranya agar bisa selalu merasa tertekan?” hening beberapa saat, kemudian dia menjawab… “Kalau aku boleh saran, kamu kurang ambisi canggih. Aku ndak akan bisa tidur sebelum pekerjaanku selesai. Seorang muslim akan selalu menuntaskan apa yang sudah dimulainya, amanah yang diberikan kepadanya.”
Kurang ambisi dan amanah… dua kata yang menghujam malam itu.
Pembawaannya yang ramah, ajang diskusi yang hangat, dan kebaikannya justru membuat diriku merasa sangat bersalah dan tertekan. Jauh lebih tertekan dan merasa bersalah ketimbang jika pembawaannya memarahiku. Jauh… Aku sudah mengecewakannya, dan malam itu…. adalah malam yang sangat berat. Hingga… somehow Tuhan meringankan beban ini… Dia, wanita itu, kompas intelektualku untuk waktu yang sangat lama akhirnya upload story lagi…. yah, meringankan bebanku malam itu.
Junior Yang Beruntung
Apakah kamu pernah punya senior yang mengejar-ngejarmu untuk bisa memberikanmu nasihat? Aku sangat sering ke Bandung untuk urusan pekerjaan. Dan setiap kali ke Bandung itu juga aku akan memilih memesan tiket travel, menghabiskan waktu selama perjalanan untuk beristirahat. Enggan aku rasanya untuk menumpang seniorku apalagi ketika itu hanya berdua, karena pasti aku perlu untuk berbincang dengannya, dan… aku mudah untuk mual dalam perjalanan. Mempertimbangkan kemungkinan aku yang hanya akan tidur saja diperjalanan, maka aku selalu memilih menaiki travel. Logiskan?
Berkali-kali seniorku ini mengajakku untuk ke Bandung bersama. Termasuk sore hari sebelum malam yang berat itu menimpaku. Dan entah ada angin apa, diriku pun mengiyakan.
Kita berbincang banyak hal, dari mulai mindset yang seharusnya dimiliki ketika bekerja, memanfaatkan fasilitas kantor, perjuangannya selama ini, pernikahan, impian, dan ambisi.
Ada satu titik dia kemudian menanyakan, “Rencanamu apa Nggih habis ini?” Kujawab saja dengan pasti, “S2 mas.”
Dia kemudian menanyakan ke universitas apa, jurusan apa, kaitannya dengan mimpi yang lebih besar bagiamana. Aku bisa menjawab semuanya, tapi… entah kenapa aku tidak percaya diri ketika membicarakan mimpiku kedepannya dihadapannya. Disana dia menjelaskan jangan setengah-setengah, kejar saja MIT… manfaatkanlah posisi saat ini, karena kami sedang menjalin kerjasama dengan MIT. Aku yang tidak memanfaatkan setiap elemen posisiku saat ini terjadi karena aku belum tau, belum percaya diri dengan apa yang akan aku lakukan dimasa depan. Akhirnya aku tidak memikirkan bagaimana mengutilisasi semuanya.
Konsep diriku masih sangatlah lemah… Aku belum selesai dengan diriku sendiri.
Kemudian diakhir dia sampaikan, ” Gua gatel deh sama lu nggih…. setiap gua ajakin naik mobil bareng ke Bandung selalu nggak mau… padahal diwaktu ini kita bisa sharing-sharing, kita bisa sama-sama belajar…. masa sampe berkali=kali gua ajakin.”
Penghambaan
Sampai sekarang aku masih belum berhasil menstrukturkan dan mendefinisikan konsep diri ini. Tapi sudah terbesit pertanyaan…
“Nanti, ketika kita meninggal dan bertemu Rasul kira-kira apa yang bisa aku banggakan bertemu dengannya?”
“Apa yang bisa membuat Allah jatuh cinta kepadaku? amalan seperti apa?”
Pertanyaan pertanyaan yang belum selesai, melengkapi proses pencarian konsep diri ini.